Senin, 26 Oktober 2015

RAHASIA IQRA

Rahasia Apa dalam IQRA

IQRA (bacalah) dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari alaq. IQRA (bacalah) dan Tuhanmulah yang Maha Akram. Yang mengajar dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)

IQRA adalah kata perintah pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw ketika menerima wahyu yang pertama.

IQRA, sebuah kata yang terdengar begitu biasa, namun dibalik kata yang biasa itu, ternyata tersimpan sebuah perintah yang sedemikian penting dan sedemikian luar biasa pengaruhnya terhadap eksistensi dan perkembangan peradaban umat manusia.

“IQRA (bacalah)”, kata Jibril.

Dengan hati bergetar dan pikiran yang saat itu tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, Muhammad lantas menjawab, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)” dan seketika itu pula Muhammad langsung merasakan ada rasa dingin yang begitu tajam menusuk dan menjalar di sekujur tubuhnya.


“IQRA (bacalah)”, Jibril kembali mengulangi kata-katanya.

Dan Muhammad pun kembali menjawab dengan lirih, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)”.

Lantas Jibril memeluknya, kemudian melepaskannya seraya mengatakan kalimat yang sama, “IQRA (bacalah)”.

Dan lagi-lagi Muhammad hanya bisa menjawab, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)”.

Apa yang sesungguhnya terjadi saat itu dan apa pula yang harus dibaca oleh Nabi Muhammad saw? Apakah wahyu yang muncul saat itu seperti layaknya tulisan yang terdapat dalam sebuah lembaran kertas? Ataukah wahyu yang ada saat itu bagaikan tulisan yang muncul dalam sebuah layar komputer? Lantas bagaimana bentuknya? Bukankah saat itu Al-Quran sama sekali belum benar-benar diturunkan?

Sungguh ini merupakan sebuah perintah yang mengherankan dan membingungkan yang ditujukan justru kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu tulisan apapun sebelumnya, seseorang yang bahkan tidak tahu apa itu menulis dan apa itu membaca.

Lalu apa makna sebenarnya yang hendak disampaikan dari pembacaan perintah “IQRA” tersebut?
Saudara, mari kita bertafakur sejenak untuk merenungi dan mengkaji kembali arti dan makna penting dari perintah “IQRA”  tersebut.

Kata “IQRA” merupakan bentuk fi’il amar (kalimat perintah) yang artinya: “bacalah”.

Kata “IQRA” secara harfiah berasal dari kata qara’a yang memiliki arti “menghimpun”. Seseorang dikatakan menghimpun, apabila ia mampu merangkaikan huruf demi huruf, kata demi kata serta kalimat demi kalimat dan kemudian mengucapkannya.

Inilah yang disebut oleh Al-Quran sebagai qara’tahu qiratan. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa kata “IQRA” yang diterjemahkan sebagai “bacalah”, sebenarnya tidaklah mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca dan tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Dan karena kita tidak menemukan penjelasan tentang adanya objek dari perintah membaca dalam redaksi wahyu pertama “IQRA”, maka sudah tentu pasti Anda akan menjumpai beraneka ragam arti dan makna dari kata “IQRA”, yakni diantaranya: membaca, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan lain sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada arti dan makna sebenarnya dari kata “IQRA” yang secara harfiah berasal dari kata qara’a yang berarti “menghimpun”.

Inilah tafsir yang sebenarnya dari perintah “IQRA”, wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara Malaikat Jibril di Gua Hira, yang eksistensinya perlu disadari bahwa ia tidaklah hanya ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad saw semata, namun juga ditujukan kepada setiap pribadi manusia.

Karena pada hakikatnya, dibalik perintah “IQRA” ternyata tersimpan sebuah rahasia yang maha dahsyat, sebuah kunci pembuka perbendaharaan langit dan bumi, sebuah kunci perbendaharaan dunia dan akhirat yang hanya diketahui oleh Allah swt semata.

“Kepunyaan-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi.” (QS. Asy-Syuuraa: 12)

Atau bahkan tidak menutup kemungkinan pula jika sekiranya Allah menghendaki, kunci tersebut juga diketahui oleh Nabi Muhammad saw untuk kemudian disampaikan kepada umatnya sebagai sebuah risalah kehidupan.

“Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidaklah memahami.” (QS. Al-Munaafiqun: 7)

Dengan demikian, Allah pun menegaskan bahwa kita sebagai umat Nabi Muhammad saw juga diberikan isyarat untuk mampu memahami, menghimpun atau mengumpulkan huruf-huruf atau tanda-tanda Ilahi yang terdapat pada kata “IQRA” untuk kemudian disusun dan dirangkai menjadi sebuah kalimat berharga yang mampu mengungkap rahasia perbendaharaan langit dan bumi serta rahasia perbendaharaan dunia dan akhirat.

Lantas, isyarat apa yang hendak Allah berikan kepada kita dengan diturunkannya perintah “IQRA” sebagai wahyu pertama?

RAHASIA “IQRA”

Jadi yang dimaksud dengan perintah “IQRA” bukanlah sekedar “membaca” dalam arti menggoyang lidah untuk melantunkan huruf demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat, namun perintah “IQRA” secara luas justru mengandung tiga pengertian dasar.

Pertama, yaitu membaca ayat-ayat Allah (tanda-tanda Ilahi) yang tertulis dalam Al-Quran; kedua, yaitu membaca ayat-ayat Allah (tanda-tanda Ialhi) yang tercipta dan terdapat di alam semesta; dan yang ketiga, membaca ayat-ayat Allah (tanda-tanda Ilahi) yang terdapat pada diri pribadi setiap manusia.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.” (QS. Fushilat: 53)

Kata “IQRA” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perintah “IQRA”, pada dasarnya merupakan himpunan dari huruf Aliif – Qaaf – Raa – Aliif, yang jika diringkas merupakan himpunan ketiga huruf Aliif, Qaaf dan Raa.

Pada huruf-huruf tersebut seakan-akan ada isyarat dan hakikat yang perlu kita pahami sehingga pada akhirnya kita akan mampu mengungkap rahasia yang tersimpan dibalik perintah “IQRA”.

Rahasia tersebut baru akan benar-benar terungkap jika saja kita mampu menghimpun rangkaian huruf demi huruf yang menyusun kata “IQRA” secara sempurna ke dalam tiga pengertian dasar perintah “IQRA” itu sendiri.

Pertama, rangkaian huruf Aliif, Qaaf dan Raa yang menyusun kata “IQRA” dalam konteks pengertian membaca ayat-ayat Allah yang tertulis di dalam Al-Quran, maka ia dapat diartikan sebagai berikut:

Aliif = “Allah”.
Qaaf = “Quran”.
Raa = “Rahmat

Dalam konteks ini, kata “IQRA” diartikan bahwa Allah swt menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Kedua, rangkaian huruf Aliif, Qaaf dan Raa yang menyusun kata “IQRA” dalam konteks pengertian membaca ayat-ayat Allah yang terdapat dan tercipta di alam semesta, maka ia dapat diartikan sebagai berikut:

Aliif = “alamin” (alam semesta)
Qaaf = “qalam” (gejala alam)
Raa = “ra’a” (membaca dengan mata)

Dalam konteks ini, kata “IQRA” diartikan bahwa alam semesta merupakan al-qalam (tanda-tanda) yang dianugerahkan Allah untuk dipahami secara visual (dibaca dengan mata) oleh manusia untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar sebuah ilmu pengetahuan.

Nah, al-qalam yang dimaksud disini janganlah diartikan sebagai “pena”, melainkan sebagai “gejala alam” yang terdapat di sekeliling kita, karena pada hakikatnya alam merupakan kamus budaya manusia. Padanya sangat banyak sekali terdapat al-qalam yang mengakibatkan manusia memiliki pengetahuan darinya.

Pada tumbuhan rambat misalnya, terdapat spiral seperti per baja yang dibuat manusia sekarang ini. Atau bentuk baling-baling, telah lengkap ada pada buah pohon mahoni. Atau bentuk ceret (tempat air), telah ada pada bunga ceret. Begitu juga kantong, telah ada pada hewan kanguru. Kemudian terbang memakai radar, sudah dilakukan oleh kelelawar. Atau memancarkan dan menangkap gelombang telah digunakan oleh ngengat pada musim kawinnya. Atau mendeteksi dengan infra merah, telah dilakukan oleh ular derik berlian, dan masih banyak lagi al-qalam lainnya yang terdapat di alam ini.

Dan yang ketiga, rangkaian huruf Aliif, Qaaf dan Raa yang menyusun kata “IQRA” dalam konteks pengertian membaca ayat-ayat Allah yang terdapat pada diri pribadi setiap manusia, maka ia dapat diartikan sebagai berikut:

Aliif = “aqlu” (pikiran).
Qaaf = “qalbu” (perasaan).
Raa = “ruuh” (jiwa).

Nah, dalam konteks ini, kata “IQRA” ditafsirkan sebagai sebuah sistem yang terdapat di dalam setiap diri pribadi manusia yang harus bekerja secara bersinergi, selaras dan seimbang. Ketiga komponen inilah (yakni pikiran, perasaan dan jiwa) yang disebut oleh sains modern sebagai realitas quantum diri manusia, sebuah realitas yang tidak kasat mata, namun menyimpan sebuah kekuatan dahsyat yang keberadaannya mampu merubah nasib manusia.

Demikianlah sekilas kajian tentang perintah “IQRA”, sebuah perintah Allah yang paling penting yang diberikan kepada umat manusia, karena pada hakikatnya, dengan “IQRA” manusia mampu mencapai tataran derajat manusia yang sempurna dan menyempurnakan (kamil mukamil).


Minggu, 18 Oktober 2015

PENTINGNYA BERFIKIR DALAM AYAT ALQURAN

Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
Pertanyaan
Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir? Tolong jelaskan ayat-ayat yang menyinggung tentang berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran?
Jawaban Global
Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran.
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia.  Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis.  Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.[2]
Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]
Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan  dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]
Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis.  Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[7]
Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
  1. Mencela secara langsung manusia yang tidak mau berpikir:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, Allah Swt menghukum manusia disebabkan karena mereka tidak berpikir. Dengan beberapa ungkapan seperti, “afalâ ta’qilun”, “afalâ tatafakkarun”, “afalâ yatadabbaruna al-Qur’ân”,[9] Allah Swt mengajak mereka untuk berpikir dan menggunakan akalnya.
  1. Ajakan untuk berpikir dalam pembahasan-pembahasan tauhid:
Allah Swt menggunakan ragam cara untuk mengajak manusia berpikir tentang keesaan Allah Swt; seperti pada ayat, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari apa yang mereka sifatkan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)[10] dan “Katakanlah, “Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu? Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Maidah [5]:76) serta ayat-ayat yang menyinggung tentang kisah Nabi Ibrahim As dalam menyembah secara lahir matahari, bulan dan bintang-bintang, semua ini dibeberkan sehingga manusia-manusia jahil dapat tergugah pikirannya terkait dengan ketidakmampuan tuhan-tuhan palsu.[11] Dengan demikian, Allah Swt mengajak manusia untuk merenungkan dan memikirkan ucapan dan ajakan para nabi, “Apakah mereka tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila? Ia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata (yang bertugas mengingatkan umat manusia terhadap tugas-tugas mereka). “(Qs. Al-A’raf [7]:184); “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagimu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Qs. Al-Saba [34]:46)
  1. Penciptaan langit-langit dan bumi serta aturan yang berkuasa atas seluruh makhluk:
Mencermati langit dan bumi serta keagungannya, demikian juga aturan yang berlaku pada unsur-unsur alam natural, merupakan salah satu jalan terbaik untuk memahami keagungan Peciptanya. Allah Swt dengan menyeru manusia untuk memperhatikan dan mencermati fenomena makhluk, sejatinya mengajak mereka untuk berpikir tentang Pencipta makhluk-makhluk tersebut. Misalnya pada ayat, “Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:29)[12] dan “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:17)
  1. Penalaran terhadap adanya hari Kiamat:
Inti keberadaan hari Kiamat dan bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk membangkitkan manusia setelah kematian mereka didasarkan argumen-argumen rasional. Pada kebanyakan ayat al-Quran, kemungkinan adanya hari Kiamat dinyatakan dalam bentuk ajakan untuk berpikir pada contoh-contoh yang serupa; seperti datangnya para wali manusia,[13]  hidupnya kembali bumi dan tumbuh-tumbuhan,[14] kisah hidupnya burung-burung sebuah jawaban atas permintaan Nabi Ibrahim AS,[15] kisah Ashabul Kahfi,[16] kisah Nabi Uzair[17] dan masih banyak contoh lainnya.
  1. Isyarat terhadap sifat-sifat Allah Swt:
Pada kebanyakan ayat al-Quran dengan menyinggung sebagian sifat Allah Swt, manusia diajak untuk berpikir tentang Allah Swt dan tentang amalan perbuatan mereka. Sifat-sifat seperti, Qadir, Malik, Sami’ dan Bashir dengan baik menunjukkan atas isyarat ini. Seperti, “Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (Qs. Al-Taubah [9]:78)[18] dan ayat-ayat dimana Allah Swt memperkenalkan dirinya sebagai saksi atas amalan-amalan kita, seperti, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah? Padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran [3]:98)[19] jelas bahwa ayat-ayat ini tengah membahas tentang prinsip-prinsip akidah; seperti tauhid, kenabian, ma’ad dan keadilan Ilahi. Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat rasional yang termaktub dalam al-Quran. Karena prinsip-prinsip akidah bertitik tolak dari pembahasan-pembahasan rasional yang harus ditetapkan dengan berpikir dan menggunakal akal. Taklid dalam hal ini tidak dibenarkan.
  1. Menjelaskan ragam kisah dan azab yang diturunkan akibat dosa-dosa kaum-kaum terdahulu:
Harap diperhatikan menjelaskan kisah-kisah kaum terdahulu yang disampaikan dalam al-Quran, bukan dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan satu kisah atau kisah yang membuat manusia larut di dalamnya, melainkan sebuah pelajaran berharga untuk umat selanjutnya. Atau dengan menelaah nasib dan peristiwa yang menimpa mereka, manusia seyogyanya berpikir tentang akhir dan pengaruh amalan perbuatan mereka sehingga dapat menuntun manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang sama; seperti kisah Nabi Yusuf,[20]  kisah yang sarat dengan pelajaran wanita-wanita para nabi,[21] azab-azab yang turun untuk kaum Ad, Tsamud dan Luth.[22]
  1. Menjelaskan mukjizat-mukjizat para nabi:
Jalan terbaik untuk menetapkan kebenaran seorang nabi dan klaim risalah yang dibawanya dari sisi Allah Swt adalah mukjizat. Mukjizat hanya dapat menetapkan klaim kenabian seorang nabi tatkala hal itu berada di luar kemampuan dan kekuatan manusia; karena itu demonstrasi mukjizat merupakan sebuah ajakan nyata kepada manusia untuk berpikir sehingga manusia dengan berpikir terhadap ketidakmampuannya dan kekuatan mukjizat ia beriman kepada ucapan-ucapan para nabi; seperti mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, al-Quran yang akan tetap abadi selamanya dan manusia dengan berpikir dan ber-tafakkur pada ayat-ayatnya dapat meraih iman pada kebenaran nabi pamungkas,[23] dan mukjizat-mukjizat agung yang diriwayatkan dari para nabi ulul azmi.[24]
  1. Tantangan dalam al-Quran:
Salah satu contoh ajakan dan seruan al-Quran untuk berpikir adalah tantangan kepada orang-orang kafir untuk menghadirkan seperti ayat-ayat al-Quran. Tatkala manusia mencari kebenaran, mereka menjumpai ketidakmampuan orang-orang kafir sepanjang tahun ini, mereka beriman kepada kebenaran al-Quran dan pembawa pesannya; seperti ayat, “Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:23)[25]
  1. Mencela taklid buta:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, orang-orang kafir untuk mencari pembenaran atas tindakannya menyembah berhala, tidak mau berpikir dan sebagai gantinya menjadikan taklid buta dari datuk-datuknya sebagai pembenar atas perbuatan-perbuatan mereka. Allah Swt mencela mereka karena tidak mau memanfaatkan kemampuan akal dan menyeru mereka untuk berpikir dan merenung dalam masalah-masalah akidah; misalnya pada ayat,  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Baqarah [2]:170)[26] sebagaimana Allah Swt mencela Ahlulkitab disebabkan akidah-akidah batil dan taklid buta mereka, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah [5]:77)
  1. Meminta argumentasi di hadapan ucapan-ucapan tak berguna:
Tatkala Allah Swt di hadapan ucapan-ucapan tak berguna dan tidak benar sebagian manusia, menuntut dalil dan burhan, dan dengan lugas meminta seluruh manusia untuk tidak mengikut sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya;[27] artinya Allah Swt menginginkan seluruh manusia menjadikan akalnya sebagai panglima untuk memutuskan di hadapan pelbagai khurafat dan hal-hal nonsense dan meminta argumentasi dari mereka; seperti, “Dan mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111)[28] Demikian juga para nabi meminta argumentasi di hadapan klaim-klaim kosong seperti, “Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku adalah Dzat yang dapat menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya juga dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat.” Lalu, orang yang kafir itu terdiam (seribu bahasa); dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Qs. Al-Baqarah [2]:258)
  1. Menggunakan penyerupaan dan permisalan dalam memotivasi dan mencela manusia:
 Allah Swt pada kebanyakan ayat mengajak manusia untuk berpikir dengan menggunakan penyerupaan sehingga ia mau merenung atas apa perbuatanya; seperti, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:41)[29]
  1. Mengingatkan pelbagai nikmat:
Allah Swt dalam al-Quran dengan mengingatkan pelbagai nikmat, meminta manusia untuk menjauhi sikap angkuh dan memuja diri serta tidak melupakan kedudukan penghambaan dan ibadah. Metode mengajak berpikir seperti ini kebanyakan digunakan untuk kaum Bani Israel; seperti, “Wahai Bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwa Aku telah mengutamakan kamu atas segala umat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:47 & 122) dan Tanyakan kepada Bani Isra’il, “Berapa banyakkah tanda-tanda (kebenaran) nyata yang telah Kami berikan kepada mereka.” Dan barang siapa yang merubah nikmat Allah setelah nikmat itu datang kepadanya, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya” &  Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu merenungkan. (Qs. Al-Baqarah [2]:211 & 242) dan pada hari kiamat akan menjadi hari tatkala seluruh anugerah ini akan ditanya.”[30]
  1. Membandingkan antara manusia dengan memperhatikan pikiran dan perbuatannya:
Tatkala seorang berakal melakukan perbandingan antara dua hal, pada hakikatnya ingin menjelaskan tipologi dan pengaruh positif dan negative masing-masing dari dua hal yang dibandingkan. Membandingkan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir juga merupakan seruan nyata Allah Swt kepada manusia untuk berpikir dan berenung, sehingga manusia yang berpikir dapat menimbang akibat orang-orang beriman dan orang-orang kafir, kemudian menemukan jalannya; seperti ayat, “Sesungguhnya telah ada tanda (dan pelajaran) bagimu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali lipat jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (Qs. Ali Imran [3]:13)[31] 
  1. Menuntaskan hujjah:
Tatkala mengirimkan pelbagai mukjizat, ayat-ayat, dan tanda-tandanya yang beragam, Tuhan telah menuntaskan hujjah bagi para hamba-Nya dan memberikan kepada mereka janji-janji pahala dan azab, pada hakikatnya mereka diseur untuk berpikir dan berenung sehingga manusia mau menimbang segala yang dilakukan dan dikerjakannya. Para nabi juga tidak mendatangi para umatnya kecuali menuntaskan hujjat dengan pelbagai dalil, argument dan tanda-tanda, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata” (Qs. Hud [11]:96) tatkala mereka menolak untuk menjadi hamba, tidak akan diampuni, “Sesungguhnya Musa telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat), kemudian kamu menjadikan anak sapi (sebagai sembahan) setelah ia pergi, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim & Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) setelah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran yang nyata, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Baqarah [2]:92 & 209)[32] seluruh hujjah tidak terkhusus untuk para pendosa saja, melainkan mencakup seluruh nabi, “Dan sebagaimana (Kami telah menurunkan kitab kepada para nabi sebelum kamu), Kami (juga) telah menurunkan Al-Qur’an itu (kepadamu) sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak memiliki pelindung dan penolak pun dari (siksa) Allah.” (Qs. Al-Ra’d [13]:37)[33]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35] [iQuest]
 

[1]Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. (Qs. Al-Anfal [8]:22)
[2].  Nahj al-Balâgha, (Subhi Shaleh), hal. 43, Intisyarat Hijrat, Qum, 1414 H.
[3]. Akal dan Agama, 4910; Hubungan Akal dan Agama, 12105.  
[4]. Kulaini, al-Kâfi, jil, 1, hal. 10, Diedit oleh Ghaffari dan Akhundi, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.  
[5]. Ibid, hal. 28.
[6]. Ibid, hal. 11.  
[7]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 26661 yang terdapat pada site ini.   
[8]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 3, hal. 57, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.  
[9].  “Apakah kalian tidak berpikir” redaksi kalimat ini dan redaksi kalimat yang serupa digunakan sebanyak 20 kali dalam al-Quran.  
[10]. Dan ayat-ayat serupa pada surah al-Mukminun “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” [23]:91)  
[11]. “Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Qs. Al-An’am [6]:76-78)  
[12]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Yunus [10]:5); (Qs. Al-Mulk [67]:3 & 4); (Qs. Al-Baqarah [2]:3 & 4); (Qs. Al-Mukminun [23]:69 & 80) dan seterusnya; Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran menyebut orang-orang yang memikirkan tanda-tanda Ilahi sebagai “ulul albab” yaitu orang-orang yang berpikir.
[13].  “Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya, “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (Qs. Al-Kahf [18]:37); “Hai manusia, jika kamu ragu tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sebagiannya berbentuk dan sebagian yang lain tidak berbentuk, agar Kami jelaskan kepadamu (bahwa Kami Maha Kuasa atas segala sesuatu), dan Kami tetapkan dalam rahim (ibu) janin yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, supaya (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah ia ketahui. Dan (dari sisi lain) kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, bumi itu hidup dan tumbuh subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs. Al-Hajj [22]:5)  
[14]. “Dan Dia-lah yang mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati (pada hari kiamat), mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Qs. Al-A’rafa [7]:57); (Qs. Al-Rum [30]:50); (Qs. Fathir [35]:9) dan lain sebagainya.  
[15]. (Qs. Al-Baqarah [2]:260)
[16]. (Qs. Al-Kahf [18]:9-25)  
[17]. (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[18]. (Qs. Al-Taubah [9]:78); (Qs. Al-Baqarah [2]:96 & 107)   
[19]. (Qs. Ali Imran [3]:98); (Qs. Al-Nisa [4]:33 & 166)  
[20]. Surah Yusuf mengulas kisah ini secara rinci.  
[21].  (Qs. Al-Tahrim [66]:4, 10 dan 11)  
[22]. Seperti ayat-ayat, (Qs. Al-Fushilat [41]:13-17) dan (Qs. Al-A’raf [7]:80-84)
[23]. Mukjizat Rasulullah SAW lainnya pada (Qs. Al-Isra [17]:1 & 88); (Qs. Al-Qamar []:1)
[24]. Mukjizat-mukjizat Nabi Nuh As pada (Qs. Al-Ankabut [29]:15); Mukjizat-mukjizat Nabi Ibrahim As pada (Qs. Al-Anbiya [21]:69); Mukjizat-mukjizat Nabi Musa As pada (Qs. Thaha [20]:17-20) dan (Qs. Al-Qashash [28]:32) dan (Qs. Al-Baqarah [2]:50); Mukjizat-mukjizat Nabi Isa As pada (Qs. Al-Maidah [5]:110)  
[25]. Dan ayat-ayat lainya seperti (Qs. Yunus [10]:38) dan (Qs. Hud [11]:13)
[26]. Dan seperti ayat-ayat (Qs. Al-Maidah [5]:53 & 54); (Qs. Al-Syua’ara [26]:74); (Qs. Al-Zukhruf [43]:23)  
[27]. (Qs. Al-Isra [17]:36)   
[28]. Ketika Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. Al-An’am [6]:49)
[29]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Al-Jumu’ah []:5); (Qs. Al-Baqarah [2]:26, 171, 261, dan 265); (Qs. Ali Imran [3]:118) dan (Qs. Al-A’raf [7]:176)  
[30].   “Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (Qs. Al-Takatsur [102]:8)
[31].  (Qs. Al-Maidah [5]:50); (Qs. Al-An’am [6]:50); (Qs. Hud [11]:24); demikian juga perbandingan orang-orang mujahid dan orang-orang yang tidak berjihad pada surah al-Nisa:95)
[32].  (Qs. Al-Nisa [4]:153); (Qs. Al-Maidah [5]:32)  
[33].   Demikian juga “(Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan seluruh ayat (bukti) kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak (berhak) mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:145)
[34].  Jelas bahwa yang dimaksud dengan mendengarkan di sini bukanlah taklid buta, melainkan mendengarkan berdasarkan pemikiran dan perenungan.
[35].  Menyinggung ayat “Adapun orang-orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kanan, maka dia berkata (lantaran bahagia dan bangga), “Ambillah, bacalah kitabku (ini) & Adapun orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kiri, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya kitabku ini tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haqqa [69]: 19 & 25 ).

Senin, 20 April 2015

ILMU YANG BERMANFAAT DAN BAROKAH ILMU

Pengertian ilmu manfaat dan barokah Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa membawa pemiliknya agar selalu taat pada Allah swt,mengamalkan ilmu untuk kepentingan bangsa masyarkat, keluarga, dan pribadi khususnya. Dari defenisi diatas maka segala ilmu yang tidak bisa mengajak pemiliknya untuk takut, tawadhu’ pada Allah swt, melainkan justru mengajak pemiliknya untuk durhaka pada Allah swt, maka ilmu tersebut disebut ilmu yang tidak bermanfaat. Pada dasarnya semua ilmu itu bermanfaat, baik bagi urusan dunia maupun akhirat. Faktor memanfaatkan dan mudhllaradlah yang kita harus mampu untuk memilah dan memilih. Demi kebahagiaan dunia, semua dicari dengan ilmu, demi kebahagiaan akhirat, juga dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman : “ Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”(Al-Jumuah : 5)  Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan tercela, yaitu ilmu sihir seperti firman-Nya : “… Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka sudah tahu barangsiapa memberi (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak mendapat keuntungan diakhirat. Sungguh sanga buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Al-Baqarah :102) Rasululllah saw bersabda : “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Diantara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Diantaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah) yang lain yaitu : yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dnegannya aku diutus.” Rasulullah saw ketika datang membawa ajaran agama Islam beliau mengumpamakannya dnegan hujan yang dibutuhkan manusia. Kondisi manusia sebelum diutusnya Rasulullah saw seperti tanah yang kering, gersang dan tandus. Kemudian kedatangan beliau Rasulullah saw membawa ilmu yang bermanfaat, menghidupkan hati-hati yang mati sebagaimana hujan menghidupkan tanah-tanah yang mati. Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Ornag ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.       Diantara mereka ada juga yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengamalkannya, akan tetapi dia mengajrkannya untuk orang lain. Maka, dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengajrkannya seperti yang dia dengar.” Diantara mereka ada juga yang mendnegar ilmu namun tidak mengahafal/menjaganya serta tidak menyampaikannya kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah yang berair atau tanah yang gersang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada disekelilingnya. §  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th 72811) rahimahullaah mengatakan :     “ Ilmu adalah apa yang dibangun diatas dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa Rasululllah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawai, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian dan ilmu perdagangan.” §  Ibnu Rajab Al Hanbali (wafat th 795 H) rahimahullaah mengatakan :     Pokok segala ilmu adalah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan atau keyakinan hamba.      Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta berusaha mempelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah disebutkan. §  Imam Mujahid bin Jabr (wafat th 104 H) raahimahullaah mengatakan : “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.” Perkataan beliau rahimahullaah menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala. a.     Tanda-tanda Ilmu yang bermanfaat 1)  Mengamalkannya      Mengamalkannya ilmu ini setelah anda membenarkan apa yang anda ketahui ,jika ada seseorang yang tidak bisa mengamalkan apa yang dia ketahui, maka ilmunya tidaklah bermanfaat. Tetapi, apakah kemudian ilmu tersebut menjadi madharat atau hanya tidak bermanfaat semata?Jawabnya adalah ilmu itu akan menjadi madharat baginya , karena Rasulullah bersabda, “Al Qur’an akan menjadi sebab keberuntunganmu atau menjadi sebab kecelakaanmu.” Oleh sebab itu, ilmu bisa menjadi sebab kebahagiaan bagi anda atau sebab kesengsaraan. 2)       Tidak suka dipuji dan menyombongkan diri pada orang lain      Hal ini merupakan bencana yang menimpa sebagian orang, dia merasa suci dan mengangggap bahwa apa yang dia katakan adalah benar, dan jika orang laon menyelisihinya maka dia katakan orang itu salah. Demikian halnya dengan sifat sombong, ada sebagian orang yang menjadi sombong ketika Allah memberikan ilmu kepadanya. 3)   Ilmu yang semakin bertambah maka dia akan semakin tawadhu’ 4)   Menjauhi cinta kedudukan,popularitas dan keduniaan  Maksudnya adalah janganlah karena ilmu yang telah anda peroleh, lalu anda ingin menjadi pemimpin dan menjadikan ilmu yang anda peroleh sebagai sarana untuk mencapai keuntungan duniawi. 5)   Tidak mengaku-ngaku berilmu  Maknanya adalah jangan berpura-pura tahu dan mengatakan “ Aku seorang ulama”. b.     Ilmu Yang Tidak Bermanfaat      Adapun ilmu yang pada dasarnya dicela oleh Allah swt, adalah seperti tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 102 dan surat Ar Rum ayat 7 “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), hanya syetan-syetan itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka mengajrkan sihir kepada manusia dan apa yang diharamkan pada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak mengerjakan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan : Sesungguhnya kami hanya cobaab bagimu, karena itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari dua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka itu tidak memberi mudharat kepada seorangpun dengan sihirnya kecuali atas izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa menukar kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya diakhirat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menukar dirinya dengan sihir kalau mereka mengatahui”. (Q.S. Al Baqarah : 102) c.      Pengertian Barakah      Barakah menurut arti lughat adalah berkat, bahagia, untung, tumbuh dan berkembang. Menurut Kamus Al Muhith, Barakah artinya ialah bergerak, tumbuh, bertambah atau bahagia ( Al Muhith, III : 293 ). Menurut Imam Syamsuddin al – Ssakhawi, barakah adalah :                                                      المرد بالبركة ا لنمو وا لز تا د ة من ا لخير وا لكرا مت “ Yang dimaksud dengan barakah adalah berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemuliaan “.      Sesuatu dianggap mempunyai barakah bila ia tumbuh, bergerak dan memberi kebahagiaan kepada mempunyai. Pengertian barakah ini kemudian tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam sehingga menjadi suatu istilah tersendiri.          Imam Al Khazin berpendapat bahwa penertian barakah atau berkat, yaitu :    ثبو ت ا لا لهى في الشي                                                                          “ Sesuatu kebaikan Tuhan yang diletakkan pada sesuatu “ Maksud kebaikan Tuhan yang diletakkan kepada sesuatu ialah apa saja yang diletakkan oleh Allah pada diri Nabi, baik itu yang ada pada badannya, bajunya, bahkan ada pula yang diletakkan pada diri pada wali, dan para ulama serta pada orang-orang yang shaleh dan yang mati syahid.                  Sedangkan yang dimaksud dengan tabarrukan adalah sebagaimana dikatakan oleh Drs. Imron AM,” Tabarruk yaitu ; mengharapkan datangnya kebaikan Ilahi dari sesuatu yang di percayai memiliki nilai-nilai keberkatan “.      Contoh-contoh tabarruk : -        Shalat di Masjidil haram, dengan mengharapkan memperoleh berkahnya masjid tersebut, yaitu tambahnya pahala dan terkabulnya do’a. -        Berdo’a di waktu menjelang shubuh, atau sepertiga malam yang terakhir “(waktu sahur), dengan tabarruk dari waktu tersebut, yaitu mengharapkan terkabulnya do’a. d.     Barokah                                                   1.     Barokah dan Rahmat                “Barokah didefenisikan : adanya kebaikan yang sifatnya ilahi dalam suatu perkara atau tindakan. Dengan demikian barakah tidak bisa terlihat langsung secara indawi dan lahiriah namun terkadang bisa terasakan. Sesuatu yang dirasakan mempunyai nilai tambah padahal lahirnya tidak atau malah berkembang, dikatakan mempunyai barokah.Contohnya harta yang dizakati, lahirnya ia berkurang namun pada hakekatnya ia mempunyai barokah atau diberkati, karena kekurangan tersebut terkadang tidak langsung mendatangkan rizki yang lain. Melakukan sesuatu tanpa membaca basmalah secara lahir tidak berbeda dengan melakukannya dengan membaca basmalah namun dengan basmalah ada nilai tambah yang tidak terlihat tapi terkadang terasakan, itulah barokah.                Demikian juga harta yang bisa termanfaatkan untuk kemaslahatan yang lebih banyak merupakan tanda-tanda diberkahi. Ada harta yang meskipun jumlahnya banyak tapi tidak begitu berguna. Ikhtiar untuk mendapatkan barokah antara lain menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang agama, yang merugikan baik bagi agama atau masyarakat memberikan dari hak-hak apa yang kita miliki, membaca basmalah ketika melakukan sesuatu dan berdoa kepada Allah agar senantiasa diberkati dalam segala hal. Dalam sebuah hadist dijelaskan : “ Kebajikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah sesuatu yang merisaukan hatimu diaman kamu merasa tidak suka apabila hal itu sampai dilihat oleh orang lain “(HR. Muslim).                Barokah dari harta yang kita miliki adalah bukan hanya harta itu bertambah banyak tetapi juga ketika melalui harta itu kita bisa lebih mendekatkan diri dan lebih bersemangat dalam kebaikan dan beribadah kepada Allah. Kalau melihat contoh real dari keberkahan harta, lihatlah Rasulullah dan para sahabatnya, mereka kaya, harta mereka  banyak, tapi dengan semua itu tidak turut intensitas ibadah mereka hanya karena kesibukan untuk mengurus harta yang mereka miliki. Karena mereka hanya meletakkan harta mereka ditangan mereka, tidak dihati mereka.                Barokah dari umur yang kita miliki ketika Allah memberikan kemanfaatan terhadap waktu yang kita miliki dalam hal kebaikan, waktu yang kita punya senantiasa bermanfaat untuk kebaikan dunia akhirat kita, kedua-duanya bukan hanya salah satu saja.                Barokah dari keluarga dan keturunan yang kita miliki adalah ketika mereka bisa menjadi penyejuk pandangan dan patner kita dalam beribadah, bukan malah sebaliknya menjadi hambatan dalam kita menunaikan kewajiban kepada Allah. e.     Cara mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah                           ·   Niat yang tulus dan ikhlas                           ·   Patuh dan menghormati guru                           ·   Penuh semangat, sungguh-sungguh, dan istiqomah                           ·   Tidak kikir, baik kikir harta maupun ilmu                           ·   Cinta pada ilmu yang dicari                          ·   Sabar dalam menghadapi cobaan, rintangan, dan tantangan                           ·   Luasnya waktu belajar dan tidak tergesa-gesa                           ·   Selalu bersikap bijaksana dan hati-hati                                           DAFTAR PUSTAKA Al Ustad Suaidi Qomar, Kajian Keislaman.Masjid Imam Bonjol, Jakarta, 2008 Atkinson, Pengantar Psikologi. Interaksara, Batam, 2005. Chaplin James P, Kamus lengkap Psikologi. Rajawali Press, Jakarta 2005 Sudarsono,Pengantar Kuliah Psikologi Umum. Fak.Psikologi Unas Pasim 2004. Sumadi Surya Brata, Psikologi Kepribadian. Rajawali Press, Jakarta, 1982. www.Pitutur.com. www.PesantrenVirtual.com www.Pesantren Al Hikam.com Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka At Taqwa. Cetakan Permata Rabi’uts Tsani. Bogor,2007.

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Minggu, 05 April 2015

BERKAH MENURUT AJARAN ISLAM

 BERKAH MENURUT AJARAN ISLAM
Oleh Yusefri
Suatu hal yang selalu kita minta kepada Allah Swt dalam do’a adalah meminta keberkahan dalam hidup; umur yang berkah, usaha yang berkah, rezeki yang berkah, dan lain sebagainya. Bahkan dalam bacaantahiyat sholat fardhu lima waktu yang setiap hari kita lakukan, kita berdo’a untuk Nabi Muhammad Saw agar Allah Swt melimpahkan keberkahan kepada beliau sebagaimana Allah telah memberkati Nabi Ibrahim As dan keluarganya (Allahumma bârik ‘ala Muhammad wa ‘ala âli Muhmmad kamâ bârakta ‘ala Ibrâmhîm wa ‘ala âli Ibrâhîm). Lantas apa itu berkah dan bagaimana kita mendapatkan keberkahan itu?
Selain kata berkah, kadang juga digunakan kata “berkat dan barokah.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata berkah diberi arti : “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia atau doa restu dan pengaruh baik yang mendatangkan selamat serta bahagia dari orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat).”
Kata “berkah, berkat atau barokah” yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebetulnya berasal dari Bahasa Arab yakni “al-barakat/al-barkah” yang berasal dari akar kata “baraka”. Dari asal kata ini pula muncul istilah “al-mubârak dan tabâruk  yang artinya juga berkah atau diberkahi”. Menurut para pakar (ahli) Bahasa Arab, diantaranya Ibn Mandzur, al-Fayyumi dan al-Fairuz Zabadi, kata  “al-barakah” menurut arti bahasa adalah “berkembang, bertambah dan kebahagiaan.” Menurut Imam аl-Nawawi dalam kitabnya “Syarh Shahih Muslim”, asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.Sedangkan dalam kitab Riyadus Shalihin dijelaskan bahwa barokah adalah:  “ziyadatul khair ‘ala al ghair” (sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama).  Adapun menurut istilah (syariat), berkah didefinisikan sebagai kebaikan berlimpah yang diberikan Allah pada siapa yang dikehendaki-Nya. Keberkahan yang merupakan pemberian dari Allah tersebut dapat berupa materi dan non materi.
Dari makna bahasa dapat dikatakan bahwa “al barakah” memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Sesuatu dapat memiliki keberkahan jika sesuatu itu bisa mendatangkan kebahagiaan, kebaikan, dan manfaat yang terus bertambah banyak pada orang lain. Dengan kata lain, jika sesuatu yang kita miliki, kebaikan dan manfaat yang ada padanya hanya bagi dirinya sendiri, sedangkan orang lain tidak, maka sesuatu yang kita miliki itu belumlah berkah. Ringkasnya, apa saja yang kita miliki bisa menjadi berkah, atau kita bisa mendapat berkahnya kalau kita mau berbagi dengan orang lain.
Adapun bila ditinjau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’аn dan аѕ-Sunnah, maka “al-barakah” memiliki makna dan perwujudan yang tidak jauh berbeda dari makna “al-barakah” dalam ilmu bahasa. Di dalam al-Qur’an, kata baraka dengan berbagai kata jadiannya (al-mubarak dan al-barakah) muncul sebanyak 31 kali. Diantaranya QS. al-Qaf: 9-11; “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak membawa kemanfaatan), lalu Kami tumbuhkan dengan air itu taman-taman dan biji-biji tanaman yang diketam. Dan pohon kurma yang tingi-tinggi yang memiliki mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Demikianlah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 9-11).
Bila keberkahan telah menyertai hujan yang turun dari langit, maka tanah yang tadinya gersang dan kering kerontang, akan menjadi subur dan makmur, kemudian muncullah taman-taman indah, buah-buahan dan biji-bijian yang melimpah ruah. Sehingga negeri yang dikaruniai Allah dengan hujan yang berkah, menjadi negeri gemah ripah loh jinawi atau dalam istilah lain بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Ayat di atas sesungguhnya berkaitan dengan kisah bangsa Saba’, yakni suatu negeri yang penduduknya beriman dan beramal saleh sehingga penuh dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, bahwa dahulu wanita kaum Saba’ tidak perlu untuk memanen buah-buahan kebun mereka. Untuk mengambil hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya, lalu melintas di kebunnya, maka buah-buahan yang telah masak dan berjatuhan sudah dapat memenuhi keranjangnya, tanpa harus bersusah-payah memetik atau mendatangkan pekerja yang memanennya.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya, yang demikian itu berkat udaranya yang bagus, cuacanya yang bersih, dan berkat kerahmatan Allah yang senantiasa meliputi mereka.
Pada ayat yang lain, istilah berkah dapat ditemukan dalam surat al-Dukhan ayat 3: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”.
 Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Al Qur’an turun pada malam yang di”berkah”i (mubarakah). Katamubarakah dalam ayat ini, dapat dipahami dengan jelas jika dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama, misalnya ayat 1 surat al-Qadr. Dalam ayat terakhir ini, Allah menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam Qadr. Pada malam Qadr itu, Allah memberikan nilai pahala yang berlipat ganda kepada orang yang melakukan ibadah. Nilai ibadah pada malam itu, lebih baik dari nilai ibadah pada seribu bulan lainnya.
Dengan mencari munasabah antara ayat-ayat seperti ini dapat dipahami bahwa kata mubarakah dalam surat al-Dukhan ayat 2 merujuk kepada arti kebaikan Allah yang diberikan kepada orang-orang yang beribadah pada malam tersebut, yakni kebaikan yang berlipat ganda bila dibandingkan dengan pahala ibadah pada malam-malam lainnya.
Istilah Al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 92 ternyata juga  disebut oleh Allah sebagai kitab suci yang di”berkah”i (kitab mubarak). Al-Qur’an disebut kitab yang di”berkah”i adalah karena ia mengandung ajaran-ajaran yang baik, yang datang dari Tuhan. Maksudnya, Kitab Suci al-Qur’an  berisi kumpulan peraturan yang berbentuk perintah dan larangan Tuhan, yang kalau perintah itu dikerjakan dan larangan dihindari, seseorang akan mendapat kebaikan (berkah). Undang-undang itu merupakan sebagian dari kebaikan yang datang dari Allah.  Tidak ada ajaran dalam al-Qur’an yang tidak baik. Manusia, karena keterbatasannya, terkadang tidak dapat memahami kebaikan yang terkandung dalam kitab suci tersebut. Seringkali kebaikan itu disadari atau ditemukan manusia belakangan hari. Sebagai contoh adalah larangan makan daging babi, yang ternyata mengandung cacing pita yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Rahasia adanya cacing pita ini baru terungkap berabad-abad setelah larangan Qur’an ini turun.
Harta (Rezeki) Yang Berkah
Dari penjelasan makna yang terkandung dalam istilah berkah di atas, maka jika dikaitkan dengan harta atau rezeki yang berkah, bukanlah dalam arti harta yang terus berkembang dan bertambah banyak dari sisi wujud riilnya atau jumlah harta yang senantiasa bertambah dan berlipat ganda. Akan tetapi bertambahnya dan atau berlipat gandanya kebaikan dan kegunaan harta itu, walaupun jumlahnya tidak bertambah banyak atau tidak berlipat ganda. Dengan kata lain, harta yang barokah ialah harta yang menyebabkan seseorang yang mempergunakannya memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa sehingga mampu mendorong berbuat kebaikan pada sesama. Harta demikian inilah yang pada hakikatnya sangat didambakan dan dicari setiap orang. Sebab ketenangan dan ketenteraman jiwa itulah yang menjadi faktor penentu bagi kebahagiaan hidup seseorang. Besar atau kecilnya karunia, banyak atau sedikitnya rezeki, tidaklah jadi persoalan bagi yang mendapat keberkahan. Semuanya akan berpulang pada rasa syukur yang mendalam pada Sang Khalik Pemilik Alam Seisinya.
Sebaliknya, harta yang tidak berkah akan menimbulkan ketidaknyamanan pada orang yang mendapatkan dan selalu dihantui ketakutan atau was-was kalau suatu saat terbongkar cara memperoleh yang tidak dibenarkan. Harta yang tidak berkah juga menimbulkan rasa kurang (rasa tidak pernah puas) pada orang yang memakannya. Sekalipun menurut ukuran kebanyakan orang, apa yang dimilikinya sudah melebihi ukuran standar, namun mereka tetap merasa kurang dan belum cukup. Otomatis, rasa syukur pastilah tak akan pernah tersirat dari orang yang rezekinya tidak berkah.
Dalam kaitannya dengan harta yang berkah ini, Rasulullah Saw juga bersabda: “Harta benda tidak akan berkurang karena disedekahkan”. Secara lahiriyah, memang mengeluarkan sedekah berarti mengurangi harta. Akan tetapi secara tersirat, harta tidak akan berkurang, bahkan akan bertambah. Artinya adalah bahwa Tuhan akan menambah lagi rezeki kepada orang yang mengeluarkan harta, yang boleh jadi tanpa diduga dan tanpa diketahui oleh orang tersebut. Orang yang merasa merugi karena mengeluarkan harta di jalan Allah, biasanya karena ia hanya mencari hubungan lahiriyah antara infak harta di jalan Allah dengan kebaikan yang diperolehnya. Dicari dengan jalan apa pun, apalagi dengan jalan ilmiah, yang menuntut adanya pemikiran rasional, obyektif, dan sistimatis, pasti tidak akan ditemukan hubungan antara dua hal di atas (Penulis adalah Dosen STAIN Curup).
Umur Yang Berkah
Dalam sebuah hadis yang bersumber dari sahabat Nabi bernama Abu Bakroh, menceritakan bahwa suatu hari  ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab ; “Yang panjang umurnya namun baik amalnya. Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?” tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.”(HR. Tirmidzi)
Pada hadis di atas terdapat sebuah petunjuk mengenai bolehnya meminta pada Allah panjang umur namun banyak amal. Berdo’a pada Allah dengan meminta panjang umur sama sekali tidak bertentangan dengan ketentuan Allah dalam Lauhul Mahfuzh karena do’a itu sendiri adalah bagian dari takdir Allah yang telah dicatat. Umur di sini dikaitkan dengan ketaatan pada Allah atau baiknya amalan. Jika panjang umur diisi dengan maksiat, maka sungguh sia-sia dan tidak berfaedah sama sekali nikmat yang diberi. Jadi yang bermanfaat adalah meminta panjang umur namun dengan disertai meminta bisa terus beramal sholeh. Inilah yang disebut mendapat umur yang berkah.